HARGA DIRI
�100 ribu, Mbak. Tapi, kau temani aku ke toilet,�
�Bapak ini apa-apaan sih?! Tak seharusnya Bapak bicara seperti itu!�
Kemudian ia berlalu, begitu saja. Terminal, selalu sulit menemukan hiburan di tempat ini. Lalu-lalang manusia menjadi pesona mafhum, tak ada yang spesial dari mereka, karena memang, arena ini hanyalah temporalitas yang memusingkan. Betapa transit adalah hal paling memuakkan!
�Mbak?!� kupanggil lagi pelayan itu, pelayan ceking berwajah tirus cantik yang kutumpu menjadi satu-satunya penghiburku di sini.
�Ya, Bapak butuh apa lagi?�
�Aku butuh kamu, Mbak,�
�Tolong Pak, jangan bicara seperti itu,�
�200 ribu, Mbak?�
�Bapak apa-apaan sih?!� ia kembali menggugatku, sama seperti sebelumnya.
�Mbak,� kupanggil dirinya sebelum mencampakkanku tuk kesekian kalinya.
�Ya?�
�Bisa temani aku di sini, Mbak? Ngobrol,�
�Maaf Pak, saya masih banyak kerjaan,�
�Sebentaaar saja,�
�Tidak bisa Pak, maaf.�
�Oke deh, es tehnya satu lagi kalau gitu,�
�Baik, Pak,�
Kusulut rokok, benar-betul tak ada kenikmatan lain di sini. Mungkin juga karena aku sendirian saja di warung ini, tak ada pengunjung lain tuk bercakap. Aku hendak menyibukkan diri, tapi apa?!
�Ini, Pak,� pelayan cantik itu membawa pesanan di batas rokokku yang setengah, cukup lama memang, apa ia meracunku? Sekejap kulihat lagi tangannya yang putih ditumbuhi cukup lebat bulu. Ini betul-betul tak tertahankan�
�500 ribu, Mbak!�
�Tolong Pak, jangan bicara seperti itu!�
�500 ribu lho, Mbak?!�
�Tidak Pak, saya tidak bisa!�
�Kamu tidak bisa, atau tidak mau?�
Sejurus, bus yang t�lah lama kunanti tiba. Aku pergi tanpa menjamah pesanan. Pelayan itu memenangkan harga dirinya. Aku masih suci. Kami semua menang.
*****